01 Jul Gizi di Balik Bencana: Bagaimana Makanan Bergizi Tetap Sampai ke Pengungsi?
Di tengah kekacauan bencana, makanan bergizi sering kali jadi kebutuhan yang sulit dijangkau. Padahal, bagi pengungsi—terutama anak-anak, ibu hamil, dan lansia—gizi yang cukup bisa menjadi penentu antara pulih dan memburuknya kondisi kesehatan. Tapi siapa yang memastikan kebutuhan ini tetap terpenuhi di tengah situasi darurat? Di balik layar, ada sistem yang berjalan, orang-orang yang berjaga, dan kolaborasi yang tak tampak—semua demi satu tujuan: menjaga gizi tetap tersedia di masa krisis.
Mengapa Gizi jadi Prioritas di Tengah Bencana?

Bencana seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, hingga kebakaran hutan kerap menimbulkan dampak besar terhadap kesehatan masyarakat, terutama dalam hal pemenuhan gizi. Situasi darurat ini sering kali menyebabkan meningkatnya kasus kurang gizi, defisiensi mikronutrien, bahkan kekurangan gizi kronis, terutama di kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan lansia. Penanganan gizi menjadi bagian penting dalam respons bencana karena berperan langsung dalam mencegah penurunan status gizi. Pemberian makanan dan asupan gizi yang tidak sesuai justru dapat memperparah kondisi, bahkan meningkatkan risiko kematian, terutama pada bayi dan anak-anak yang sudah mengalami gangguan gizi. (1)
Peran Ahli Gizi dalam Situasi Bencana
Ahli gizi memegang peranan penting dalam penanggulangan bencana, terutama dalam menjaga dan meningkatkan status gizi kelompok terdampak. Tugas ahli gizi meliputi merancang menu sederhana namun bernilai gizi tinggi yang disesuaikan dengan ketersediaan bahan pangan, air bersih, serta fasilitas pendukung seperti bahan bakar dan tenaga kerja. Intervensi gizi dilakukan berdasarkan tingkat kedaruratan, kondisi kesehatan, dan sumber daya yang tersedia, dengan mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat terdampak. Selain itu, ahli gizi melaksanakan surveilans untuk memantau status gizi dan perkembangan kesehatan pengungsi, mengatur pembagian tugas di lapangan agar distribusi dan penyajian makanan berjalan efektif, serta berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat. Peran pemberdayaan pengungsi juga penting agar kelompok terdampak dapat aktif berkontribusi memenuhi kebutuhan pangan di lingkungan masing-masing. (2)
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 7937:2013) tentang layanan kemanusiaan dalam bencana, penyedia layanan ketahanan pangan dan gizi wajib melakukan pengkajian yang valid untuk memahami tingkat kerawanan pangan dan gizi, serta mengidentifikasi kelompok paling rentan. Perlindungan pemberian makanan bayi dan anak menjadi prioritas utama, dengan penerapan panduan kebijakan dan koordinasi yang kuat. Bantuan pangan harus diberikan tepat waktu, layak, dan sesuai kebutuhan guna meminimalkan risiko dan mendukung kemampuan bertahan hidup ibu, bayi, dan anak.
Penyedia layanan juga harus memastikan makanan yang disediakan cocok, aman, dan dapat diterima secara budaya serta dapat digunakan secara berdaya guna di tingkat rumah
tangga. Penyaluran makanan pada tahap tanggap darurat harus dilakukan secara transparan, aman, manusiawi, dan sesuai kondisi setempat. Penyimpanan, persiapan, dan konsumsi makanan di tingkat rumah tangga dan komunitas harus menjamin keamanan dan kelayakan pangan. (3)Prinsip Penanganan Gizi Darurat
Prinsip penanganan gizi darurat terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap penyelamatan, tahap tanggap darurat, dan melakukan pengamatan surveilans gizi.
1. Tahap Penyelamatan
Ini adalah tahap awal untuk memastikan pengungsi tidak kelaparan dan dapat menjaga status gizinya. Terbagi menjadi dua fase:

- Fase 1: dilakukan pada 5 hari pertama pasca bencana, saat data pengungsi belum lengkap dan makanan diberikan secara seragam tanpa perencanaan rinci. Fokus pada pemberian makanan jadi dalam waktu sesingkat mungkin, pendataan awal (jumlah pengungsi, jenis kelamin, golongan umur), dan penyelenggaraan dapur umum.
- Fase 2: setelah 5 hari, data pengungsi lebih lengkap (jumlah, golongan umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan sebagainya) sehingga distribusi makanan bisa lebih terencana, serta tersedia cukup bantuan bahan makanan. Bantuan pangan (ransum) per orang diperhitungkan senilai 2.100 kkal, protein (50 g/hari), lemak (40 g/hari), serta harus memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. Pemberian makanan diusahakan mempertimbangkan kebiasaan lokal dan kemudahan distribusi. Penyuluhan gizi juga mulai dilakukan pada fase ini.
2. Tahap Tanggap Darurat
Dimulai paling lambat hari ke-20 di lokasi pengungsian. Kegiatan yang dilakukan meliputi:
- Screening status gizi terutama balita.
- Pemberian Makanan Tambahan (PMT) sesuai kondisi (darurat, terbatas, atau terapi).
- Penyuluhan gizi secara individu atau kelompok.
- Pemantauan status gizi secara berkala.
- Modifikasi/perbaikan intervensi sesuai dengan perubahan tingkat kedaruratan.
Jenis intervensi ditentukan berdasarkan prevalensi gizi kurang dan faktor pemburuk:
- Jika prevalensi >15%, atau 10–14% disertai faktor pemburuk, maka diberikan paket pangan standar (ransum) minimal per orang per hari. Selain itu, diberikan PMT darurat bagi balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia, serta PMT terapi untuk penderita gizi buruk. Komposisi PMT darurat mengikuti standar ransum.
- Jika prevalensi 10–14,9% atau 5–9,9% dengan faktor pemburuk, diberikan PMT darurat terbatas untuk kelompok rentan, serta PMT terapi untuk penderita gizi buruk.
- Jika prevalensi <10% tanpa faktor pemburuk atau <5% dengan faktor pemburuk, maka penanganan dilakukan melalui pelayanan kesehatan setempat.
3. Tahap Pengamatan/Surveilans Gizi
Dilakukan untuk memantau perkembangan status gizi pengungsi secara berkelanjutan dan menyesuaikan intervensi yang diperlukan. (2)
Koordinasi Lintas Sektor dalam Respons Gizi Darurat
Koordinasi adalah proses menyatukan berbagai sumber daya dan aktivitas organisasi agar mampu menghasilkan kerja yang sinergis. Tujuannya adalah menangani dampak kesehatan masyarakat akibat bencana secara menyeluruh dan terpadu, sehingga sasaran yang telah direncanakan bisa dicapai dengan cara yang efektif dan efisien. Koordinasi mencakup kerja sama lintas program dari berbagai pihak, seperti pemerintah, organisasi non-pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sektor swasta, maupun masyarakat. Bentuk koordinasi ini melibatkan integrasi berbagai layanan, seperti: penilaian kebutuhan kesehatan di lokasi bencana, penyediaan layanan kesehatan dasar dan spesialis, perbaikan gizi bencana, imunisasi, pengendalian vektor, sanitasi dan lingkungan, penyuluhan kesehatan, serta penyediaan logistik kesehatan. (4)
Ketahanan gizi dalam bencana tak bisa dibangun sendirian. Butuh sistem yang tangguh, tenaga yang sigap, dan jejaring lintas sektor yang saling menopang agar makanan bergizi benar-benar sampai ke yang membutuhkan, tepat saat mereka membutuhkannya.
Referensi
- Dinkes Provinsi Kepulauan Riau. Pentingnya Penanganan Gizi pada Situasi Bencana [Internet]. 2022 [dikutip 23 Mei 2025]. Tersedia pada: https://dinkes.kepriprov.go.id/blog/viewberita/pentingnya- penanganan-gizi-pada-situasi-bencana
- Helmyati S, Yuliati E, Maghribi R, Wisnusanti SU. Manajemen Gizi dalam Kondisi Bencana. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2018. 17–24 hal.
- Kemenkes RI. Pedoman Penanganan Gizi dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta; 2018.
- Kemenkes RI. Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana di Lapangan. Jakarta; 2002.
No Comments