Inovasi dalam Pengembangan School-Based Food and Nutrition Education (SFNE) Program untuk Mencegah Hemodialisa pada Anak di Indonesia

Inovasi dalam Pengembangan School-Based Food and Nutrition Education (SFNE) Program untuk Mencegah Hemodialisa pada Anak di Indonesia

Bagikan

Pemenuhan gizi pada anak merupakan salah satu faktor penting dalam optimalisasi proses tumbuh kembang dan kecerdasan. Pembentukan organ dan struktur jaringan otak terjadi utamanya pada periode 1000 hari pertama kehidupan. Selain itu, asupan gizi yang memadai dibutuhkan untuk membangun sistem kekebalan tubuh agar anak cenderung lebih tahan terhadap penyakit infeksi, sehingga tetap aktif, bisa rajin bersekolah dan mengalami lebih sedikit gangguan dalam proses pembelajaran. Alhasil, anak yang tumbuh dengan kecukupan asupan gizi memiliki performa akademis yang lebih baik dan berpotensi menjadi generasi yang lebih produktif serta secara positif dapat memberi kontribusi kepada masyarakat. (1)

FOTO ARTIKEL WEBSITE-10

Seiring dengan perkembangan jaman dan globalisasi yang makin meluas, kejadian penyakit pada usia anak tidak lagi didominasi pada jenis infeksius (menular) saja, melainkan juga penyakit non-infeksius (tidak menular). (2) Secara global, World Health Organization (WHO) tahun 2024 melaporkan bahwa penyakit seperti pneumonia, diare, tuberkulosis, sepsis, demam berdarah, HIV/AIDS, infeksi parasit dan malaria, merupakan penyebab utama kematian anak usia 1 bulan hingga 9 tahun. Terkait kondisi tersebut, sejauh ini telah ada pola penanganan sistematis pada anak di berbagai layanan kesehatan baik puskesmas, rumah sakit, maupun klinik kesehatan milik pemerintah/swasta. Namun, di tahun yang sama, WHO juga mendokumentasikan terkait faktor risiko penyakit tidak menular yang dapat terjadi sedari usia anak, meliputi diet tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, paparan alkohol dan rokok, dan lingkungan tidak bersih. Manifestasi yang umum dialami anak adalah antara lain obesitas, kanker, diabetes mellitus, serta gangguan fungsi ginjal dan jantung. Hal ini membutuhkan alur tindakan yang lebih kompleks, selain pencegahan akumulasi faktor risiko, juga pola penanganan ke arah penyakit kronis. (3)

Isu terkait kesehatan anak masih menjadi fokus dan perhatian penting. Sebagaimana halnya stunting yang tengah sebagai permasalahan kolektif bangsa, penyakit tidak menular yang berkaitan dengan pola makan menjadi fenomena baru yang kini pun ramai diperbincangkan. Berdasarkan data epidemiologi dunia, prevalensi diabetes mellitus tipe 2 pada anak di Amerika meningkat seiring usia, dari 0.29 per 1.000 anak pada usia 10-14 tahun menjadi 1.04 per 1.000 anak pada usia 15-19 tahun. Sedangkan di Australia, prevalensi kasus yang sama adalah 3 per 100.000 anak pada usia 10-14 tahun. Di Kuwait, prevalensi diabetes mellitus tipe 2 pada anak usia 11-14 tahun lebih banyak dialami pada gender laki-laki (41,4%) dibanding perempuan (28.9%). (4) Sementara di Indonesia, prevalensi diabetes mellitus tipe 2 meningkat sebanyak 70 kali lipat dari 0.028 per 100.000 anak (tahun 2020) menjadi 2 per 100.000 anak (tahun 2023) dengan usia pengidap dominan diabetes mellitus pada anak adalah 10-14 tahun (46%), diikuti oleh 5-9 tahun (31,05%), 0-4 tahun (19%) dan di atas 14 tahun (3%). (5)

Pemilihan makanan tinggi gula (lebih dari 4 sendok makan/hari), tinggi lemak (lebih dari 5 sendok makan minyak goreng atau lebih dari 30% kebutuhan total energi/hari), rendah serat (kurang dari 3-4 porsi sayur dan buah/hari) dan menjadi kebiasaan pola makan demikian merupakan cikal bakal utama dari kejadian diabetes mellitus tipe 2 pada anak. Secara progresif, dari sisi penyakit dan terapi medisnya dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal yang dikenal dengan sebutan nefropati diabetik, Pada 2 tahun terakhir ini, prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) cukup signifikan meningkat, yaitu stadium II ke bawah pada anak dilaporkan sekitar 18,5 – 58,3 per juta anak. Sedangkan, prevalensi gagal ginjal terminal yang membutuhkan terapi hemodialisa atau transplantasi ginjal pada anak adalah 22 per sejuta populasi. (6)

FOTO ARTIKEL WEBSITE-4

Di sisi lain, praktik pencemaran makanan pada jajanan anak sekolah kian marak. Walau telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Men.Kes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya (Citrus red No. 2, Chocalate Brow FB, Ponceua 3 R, Ponceua SX, Ponceua 6R, Rhodamin B, Guinea Green B, Magenta, Chrysoidine, Chrysoidin S, Butter Yellow, Black 7984, Burn Uber, Sudan I, Methanil Yellow, Auramine, Alkenat, Oil Oranges SS, Oil Oranges XO, Oil Yellow AB, Oil Yellow OB, Fast Red E, Fast Yellow AB, Indantherene Blue RS, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchid and Orcein, Scarlet GN, Violet 6 B), namun demikian pemakaian beberapa zat tersebut ditemukan banyak terdapat dalam makanan anak sekolah. (7)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tuslinah dan Aprilia mengenai Analisis Zat Warna Berbahaya pada Jajanan Anak Sekolah pada tahun 2018 mengidentifikasi bahwa dari 31 makanan jajanan anak sekolah (16 kelompok sampel) diperoleh 25 makanan mengandung zat warna berbahaya. Selanjutnya, di antara jajanan tersebut (agar-agar/jelly aneka warna, donat, aromanis berwarna kuning, toping donat warna ungu, keripik umbi warna ungu, misis berwarna merah, selai rasa lemon, ciki warna coklat, bumbu balado, minuman limun aneka warna, kue basah berwarna merah dan coklat, minuman capucino coklat, minuman capucino cincau, coklat bubuk, dan aneka minuman lain), jenis yang paling banyak mengandung zat warna berbahaya dari golongan zat warna tekstil (9 dari 10 sampel) yaitu makanan agar-agar/jelly. Kebiasaan konsumsi makanan yang mengandung zat warna berbahaya tersebut diduga sebagai salah satu penyebab dari kerusakan permanen fungsi ginjal pada anak. (7)

FOTO ARTIKEL WEBSITE-11

Guna mencegah peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik lebih lanjut yang berujung hemodialisa pada anak, diperlukan inovasi strategi untuk pencegahan dari segala aspek. School-Based Food and Nutrition Education (SFNE) Program dapat diadopsi secara bertahap dengan implementasi masif progresif pada jenjang pendidikan dasar anak yang bertujuan memperkenalkan sedari dini pentingnya pengetahuan terkait gizi untuk melatih anak memiliki kebiasaan makan dan pemilihan makanan yang tepat. Dengan kolaborasi dan kerja sama antara guru dan orang tua/wali, penambahan kurikulum gizi di sekolah dasar dimungkinkan terwujud di tengah padatnya mata pelajaran bidang akademis lainnya. SFNE meliputi survei dengan kuesioner untuk mengetahui karakteristik, sikap dan praktik gizi anak. Kemudian, pemaparan materi dan video pembelajaran singkat selama 45 menit mengenai hubungan antara asupan gizi dan penyakit serta ringkasan hasil penilaian pola makan anak (asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, natrium) disajikan oleh guru gizi dan setiap anak membandingkan ringkasan tersebut dengan kebutuhannya. Selanjutnya, serangkaian pekerjaan rumah yang melibatkan anak dan orang tua/wali diberikan dan dibahas pada pertemuan berikutnya. Pekerjaan rumah ini mencakup catatan harian (food diary) untuk meninjau pola makan anak, klasifikasi zat gizi utama, dan kuis terkait pengetahuan gizi. Proses ini juga secara otomatis memicu wawasan orang tua/wali terkait pendidikan gizi di rumah bagi anaknya. Sehingga, dengan terbentuknya sistem holistik pendidikan gizi yang diterapkan baik di rumah maupun di sekolah, dapat tercipta pola konsumsi yang sehat dan aman bagi anak Indonesia agar tercegah dari hemodialisa akibat penyakit gagal ginjal kronik. (8)

Editor :  Aldera, S.Tr.Gz

Referensi

  1. RI KK. Masalah Gizi, Permasalahan Kita Bersama. 2023.
  2. WHO. Communicable diseases among children [Internet]. 2024. Available from: https://www.who.int/teams/maternal-newborn-child-adolescent-health-and ageing/child-health/communicable-diseases-among-children#:~:text=Globally%2C infectious diseases%2C including pneumonia,can save many young lives.
  3. WHO. Prevention of noncommunicable diseases [Internet]. 2024. Available from: https://www.who.int/teams/maternal-newborn-child-adolescent-health-and ageing/child-health/prevention-of-noncommunicable-diseases#:~:text=Whereas some noncommunicable diseases emerge,%2C obesity%2C injuries and accidents.
  4. Perng, Wei Dabelea ; Rebecca Conway; Elizabeth Mayer-Davis; Dana. Youth-Onset Type 2 Diabetes: The Epidemiology of an Awakening Epidemic. Diabetes Care. 2023;3:490–9.
  5. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Prevalensi Diabetes Mellitus Anak di Jakarta, Membangun Kesadaran Dini untuk Masa Depan yang Lebih Sehat [Internet]. 2024. Available from: https://dinkes.jakarta.go.id/berita/read/prevalensi-diabetes-melitus-anak-di jakarta-membangun-kesadaran-dini-untuk-masa-depan-yang-lebih-sehat#:~:text=Kasus diabetes melitus tipe satu,2 per 100 ribu jiwa.
  6. Kementerian Kesehatan. Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Meningkat, Orang Tua Diminta Waspada [Internet]. 2022. Available from: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis media/20221017/3141288/kasus-gagal-ginjal-akut-pada-anak-meningkat-orang-tua diminta-waspada/
  7. Tuslinah L. Analisis Zat Warna Berbahaya Pada Jajanan Anak Sekolah Yang Beredar Di Tasikmalaya. J Kesehat Bakti Tunas Husada J Ilmu-ilmu Keperawatan, Anal Kesehat dan Farm. 2018;17(2):430.
  8. Asakura K, Mori S, Sasaki S, Nishiwaki Y. A school-based nutrition education program involving children and their guardians in Japan: facilitation of guardian-child communication and reduction of nutrition knowledge disparity. Nutr J [Internet]. 2021;20(1):1–13. Available from: https://doi.org/10.1186/s12937-021-00751-z
No Comments

Post A Comment

16617 16621