Gizi Adekuat, Jiwa Sehat

Gizi Adekuat, Jiwa Sehat

Bagikan

Dewasa ini, masyarakat semakin sadar pentingnya menjaga kesehatan mental bagi kualitas hidup yang lebih baik. Kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satunya aspek gizi. Telah banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara gizi dengan peningkatan mood, hingga penurunan gejala gangguan jiwa.(1) Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi gangguan jiwa skizofernia di Indonesia mencapai 6,7%, dan terdapat 6,1% masyarakat Indonesia di atas 15 tahun yang mengalami depresi.(2) Proporsi tersebut dimungkinkan meningkat sejak pandemi COVID-19. Bagaimana sesungguhnya peran gizi pada gangguan mental? Mari simak penjelasan berikut ini.

FOTO ARTIKEL WEBSITE-24

Gangguan jiwa skizofernia (psikosis)

Skizofernia merupakan gangguan mental dengan beban sosioekonomi yang signifikan dan patofisiologi yang kompleks. Tanda khas dari spektrum skizofernia antara lain gejala delusi, halusinasi, dan paranoid.(3) Defisiensi beberapa zat gizi, terutama vitamin D, berhubungan erat dengan gejala skizofernia. Kekurangan vitamin D dapat meningkatkan risiko berkembangnya skizofernia. Kadar vitamin C, E, B6, asam folat, dan B12 juga cenderung rendah pada penderita psikosis, sehingga konsumsinya perlu ditingkatkan.(4,5) Suplementasi Selenium dan probiotik terbukti mampu membantu menurunkan gejala umum skizofernia dan profil metabolik.(6)

Bipolar

Bipolar adalah salah satu spektrum gangguan mental yang terdiri dari episode-episode perubahan suasana hati dari fase manik (senang berlebihan) dan depresi.(3) Terdapat faktor genetik pada pada bipolar, tetapi faktor hormon, abnormalitas neurotransmiter, dan stres, juga mempengaruhi.(7) Salah satu terapi yang sering digunakan pada pasien bipolar adalah pemberian Litium untuk menstabilkan suasana hati. Terapi Litium seringkali menimbulkan efek samping mudah haus, mual, muntah, hingga diare, sehingga butuh perhatian gizi khusus. Asupan garam dan sodium yang cukup, diperlukan pada pasien dengan terapi Litium. Suplementasi Magnesium 300 mg hingga 600 mg per hari dapat menjadi pengganti terapi Litium. Pasien bipolar juga dianjurkan untuk mendapat suplementasi omega 3 hingga 9,3 gram per hari yang bermanfaat untuk perkembangan dan fungsi otak, termasuk pembentukkan dan maturasi neuron. Stres oksidatif dan disfungsi mitokondria turut berasosiasi dengan patogenesis bipolar, sehingga dianjurkan untuk mengonsumsi antioksidan seperti N-asetilsistein (NAC).(7,8)

Depresi

FOTO ARTIKEL WEBSITE-23

Depresi ditandai dengan perubahan suasana hati atau hilang minat pada aktivitas sehari-hari hingga lebih dari 2 minggu. Pemberian minyak ikan, kurkumin, vitamin B12, asam folat, Magnesium, dan Kromium dapat membantu menurunkan gejala depresi.(7) Selain karena adanya peristiwa traumatik, faktor yang terlibat dalam berkembangnya Major Depressive Disorder (MDD) antara lain faktor genetik, gizi, tekanan dari lingkungan, gangguan hormonal, hingga perubahan neurotransmiter.(3) Untuk memperbaiki perubahan neurotransmiter, penderita depresi perlu mengonsumsi makanan tinggi triptofan seperti susu, ikan laut, daging ayam, oatmeal, dan keju. Triptofan adalah prekursor serotonin yang meningkatkan kemampuan mengatasi stres. Akan tetapi, asupan triptofan justru perlu dibatasi pada pasien depresi yang mendapat obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) seperti Fluoxetin, Paroxetin dan Sertralin. Konsumsi makanan tinggi triptofan bersamaan dengan SSRI dapat menyebabkan sindrom serotonin yang merugikan tubuh.(5,7,9) Sebagian pasien depresi juga diresepkan obat golongan Monoamine Axidase Inhibitors (MAOI) seperti Fenelzin. Obat jenis ini bekerja dengan menghambat aksi enzim monoamine axidase untuk meningkatkan jumlah neurotransmiter, sehingga dapat memperbaiki suasana hati. Di sisi lain, prekursor neurotransmiter juga dapat diperoleh dari makanan yang mengandung tiramin. Konsumsi makanan yang mengandung tiramin bersamaan dengan obat golongan MAOI dapat menyebabkan krisis hipertensi. Pasien yang diberi MAOI dianjurkan untuk menghindari makanan sumber tiramin seperti keju, ikan asap, daging (terutama yang disimpan lama dan tidak segar), anggur, dan hati. Alpukat, saus kedelai, coklat, kacang, dan yogurt juga mengandung tiramin dalam jumlah sedang sehingga perlu dibatasi pada pasien psikiatri yang mengonsumsi obat MAOI.(10)

Gangguan kecemasan (anxiety)

Penderita gangguan kecemasan sering mengalami defisiensi zat gizi, terutama vitamin D, vitamin B kompleks, dan magnesium. Kekurangan magnesium dalam tubuh diketahui dapat menyebabkan kecemasan, dan sebaliknya, kecemasan dapat meningkatkan pelepasan magnesium dalam tubuh. Konsumsi vitamin B, C, D, E dan kolin yang cukup dapat menurunkan gejala kecemasan. Karena adanya keterlibatan hormon kortisol dan komponen sistemsaraf simpatik pada patofisiologi gangguan kecemasan, pasien dianjurkan untuk mengurangi asupan kafein dan gula (sukrosa).(7,11) Selain zat-zat gizi spesifik, menjaga kualitas diet secara umum (jumlah asupan makan, pola makan yang baik, keberagaman jenis makanan), serta mencapai status gizi normal, juga penting bagi pasien psikiatri. Meskipun tidak dapat mengobati secara independen, gizi dapat mendampingi kesuksesan terapi perilaku dan farmakologi pada penderita gangguan mental.

Editor :  Aldera, S.Tr.Gz

Referensi

  1. Adan RAH, van der Beek EM, Buitelaar JK, Cryan JF, Hebebrand J, Higgs S, et al. Nutritional psychiatry: Towards improving mental health by what you eat. European Neuropsychopharmacology. 2019 Dec;29(12):1321–32.
  2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2018.
  3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Association; 2013.
  4. Onaolapo OJ, Onaolapo AY. Nutrition, nutritional deficiencies, and schizophrenia: An association worthy of constant reassessment. World J Clin Cases. 2021 Oct 6;9(28):8295–311.
  5. Persatuan Ahli Gizi Indonesia, Asosiasi Dietisien Indonesia. Penuntun Diet dan Terapi Gizi. 4th ed. Suharyati, Hartati B, Kresnawan T, Sunarti, Hudayani F, Darmarini F, editors. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2020.
  6. Jamilian H, Ghaderi A. The Effects of Probiotic and Selenium Co-supplementation on Clinical and Metabolic Scales in Chronic Schizophrenia: a Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled Trial. Biol Trace Elem Res. 2021 Dec 6;199(12):4430–8.
  7. Mahan LK, Raymond JL. Krause’s, Food & The Nutrition Care Process, 14th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2017.
  8. Łojko D, Stelmach-Mardas M, Suwalska A. Is diet important in bipolar disorder? Psychiatr Pol. 2018 Oct 27;52(5):783–95.
  9. Marx W, Lane M, Hockey M, Aslam H, Berk M, Walder K, et al. Diet and depression: exploring the biological mechanisms of action. Mol Psychiatry. 2021 Jan 3;26(1):134–50.
  10. Helmyati S, Rahmawati NF, Purwanto, Yuliati E. Interaksi Obat dan Makanan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 2016.
  11. Kris-Etherton PM, Petersen KS, Hibbeln JR, Hurley D, Kolick V, Peoples S, et al. Nutrition and behavioral health disorders: depression and anxiety. Nutr Rev. 2021 Feb 11;79(3):247–60. 2022;9(943998):1–14.
  12. Zavitsanou A, Drigas A. Nutrition in Mental and Physical Health. Tech Soc Sci J. 2021;23(9):67–77.
No Comments

Post A Comment